makalah ahlul hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepeninggal
Nabi Muhammad SAW sebagai sumber utama rujukan ketika muncul permasalahAn
dikalangan kaum muslimin, para sahabat banyak yang menyebar ke daerah-daerah
Islam yang baru. Mereka banyak berbeda pendapat dalam merumuskan
jawaban-jawaban atas permasalahan yang muncul akibat perbedaan latar belakang.
Seperti
diketahui bahwa para sahabat pada masa khalifah ke tiga yaitu Utsman bin Affan
banyak dari mereka yang menyebar ke berbagai wilayah Islam. Mereka banyak
membawa riwayat hadits Nabi ke Yaman, Iraq, Syam, dan hijaz sekaligus membawa
hukum syariat Islam yang kemudian diikuti oleh para tabiin di berbagai daerah
yang berbeda. Di daerah-daerah ini latar belakang kehidupan yang banyak timbul
masalah-masalah baru dan sedikit nash-nash hadith yang sampai pada mereka
mengakibatkan perbedaan metode pembentukan hukum Islam dengan para sahabat yang
menetap di sekitar Hijaz dimana banyak terdapat nash-nash hadith dan tidak
banyak muncul masalah-masalah baru.
Dari sinilah timbul
madarasah-madrasah pemikiran dalam pembentukan hukum Islam yang
mendasarkan pada metode yang berbeda yaitu metode yang mengedepankan ra’yu (akal)
dan metode yang mengedepankan teks.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ahlul Hadits dan ahlul Ra’yi ?
2. Bagaimana sejarah kelahiran Ahlul Hadits dan ahlul Ra’yi ?
3. Apa keistimewaan Ahlul Hadits dan ahlul Ra’yi ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Agar tahu perbedaan dari
Ahlul Hadits dan ahlul Ra’yi
2.
Tahu sejarah kelahiran
Ahlul Hadits dan ahlul Ra’yi
3.
Agar mengetahui keistimewaan
Ahlul Hadits dan ahlul Ra’yi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Alhul Ra’yi
Yang dimaksudkan dengan Ahlu
al-Ra’y adalah aliran ijtihad yang mempunyai pandangan bahwa hukum Islam
itu merupakan ketentuan-ketentuan doktrial yang mengacu pada kemaslahatan
kehidupan umat manusia. Bukan berarti ra’yu di sini dipahami penggunaan
akal tanpa aturan, menyalahi nash atau mengutarakan pendapat dengan gegabah dan
kurangnya pengetahuan nash-nash dan pengambilan hukum di dalamnya. Dalam penetapan hukum aliran ini banyak dipengaruhi oleh
cara berfikir ulama-ulama Iraq. Mereka mengikuti pola pikir Umar bin
Khattab dan Ibnu Mas’ud. Kecenderungan mereka dalam menetapkan hukum banyak
menggunakan akal.
2. Latar Belakang Kemunculan.
Kelompok ini muncul lebih banyak di
wilayah Iraq, khususnya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis
bahwa munculnya aliran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni:
Keterikatan yang sanga kuat terhadap
guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam metode ijtihadnya
banyak dipengaruhi oleh metode Umar bin Khattab yang sering menggunakan ra’yu.
Minimnya mereka menerima hadis nabi,
hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis yang disampaikan oleh para
sahabat yang datang ke Iraq seperti Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar
bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga
meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ra’yu juga
dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadis dengan cara
memberikan kriteria-kriteria yang sangat sulit. Seleksi yang sungguh ketat yang
mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya hadis yang dapat diterima sebagai
dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka lakukan ini termotivasi
oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang kala itu jumlahnya yang tidak
sedikit.
Munculnya berbagai masalah baru yang membutuhkan legitimasi
hukum. Masalah-masalah ini muncul dikarenakan pesatnya perkembangan budaya yang
terjadi di Iraq kala itu, terutama yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia
dan Romawi dan ketika budaya-budaya yang berkembang ini bersentuhan dengan
ajaran Islam maka harus dicari solusi hukumnya. Minimnya hadis yang mereka
peroleh menggiring mereka untuk menggunakan ra’yu.
3. Keitimewaan
Ahl Ra’yu
Para ulama menyebutkan bahwa Ahl Ra’yu memiliki beberapa
keistimewaan tertentu, di antaranya:
Ø Banyaknya
hukum-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan termasuk yang bercorak taqdiri yaitu
hukum-hukum yang bersifat kemungkinan sebab masalahnya belum muncul ketika itu.
Hal ini
sangat dimungkinkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang mereka temukan
terutama yang berasal dari budaya-budaya lokal yang lebih dahulum maju
ketimbang Islam. Munculnya masalah-masalah baru ini memberikan dampak terhadap
produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fiqh termasuk dalam melahirkan
ketentuan-ketentuan hukum terhadap masalah yang belum terjadi.
Ø Dalam
pelegeslasian huku, mereka tidak hanya memakai makna tekstual saja, akan tetapi
mereka juga memperhatikan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan relevansi
syari’at dengan peristiwa konkrit. Hal ini dilakukan karena syari’at dipandang
sangat cocok dengan akal (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk memberikan
maslahat kepada manusia.
Ø Seefektifnya
mereka dalam menerima suatu hadis dengan memberikan kriteria-kriteria yang
ketat dalam penukilan suatu hadis ehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari
kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis sehingga hanya sedikit yang
mampu selamat dari kriteria tersebut. Hal ini dilakukan agar sunnah nabi dapat terpelihara dengan
baik, sebab pada saat itu banyak sekali muncul-muncul hadis da’if dan maudhu’.
4.
Tokoh –
tokohnya
Beberapa tokoh yang termasuk dalam kelompok ahl ra’yu adalah
sebagai berikut:
1.
Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H).
2.
Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
3.
al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
4.
Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
5.
al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
4.
Metode dalam Pelegeslasian Hukum Islam
1.
Pengertian Ahlul Hadits
Para ulama ahl
al-hadits membatasi kajian fiqihnya hanya merujuk pada al-Quran dan hadits
Nabi serta tidak mau melangkah lebih jauh dari keduanya, mereka cenderung tidak
menyukai kajian nalar juga sangat berhati-hati ketika mengemukakan fatwa suatu
permasalahan. Golongan ini mayoritas berdomisili di Madinah, kecenderungan ini
dapat dipahami karena di tempat inilah Nabi bermukim, sehingga masyarakat yang
tinggal di wilayah ini diyakini mencerminkan tipe ideal yang mengacu pada
Sunnah Nabi.
Mereka berpegang pada kedua sumber hukum, al-Quran
dan Hadits secara ketat. Jika tidak ditemukan hukumnya dalam keduanya, mereka
berpaling pada praktek dan pendapat para sahabat. Mereka menggunakan rasio pada
situasi yang sangat terpaksa. Hal itu tercerminkan ketika mereka tidak
menemukan hukum suatu masalah pada nash-nash qurani atau hadits dan praktek
sahabat, mereka sepakat menggunakan ijtihad, kendatipun dengan metode dan
proporsi yang sangat terbatas jika dibandingkan penggunaan rasio pada golongan ahl
al-ra’y
Madrasah ini cenderung
tidak memberikan ruang yang luas bagi nalar dan banyak bersandar pada
bukti-bukti atsar atau nash-nash. Mereka ketika ditanya mengenai suatu
permasalahan, jika mereka mengetahui ada ayat quran atau hadis yang menerangkan
hukumnya, maka mereka akan berfatwa. Jika tidak menemukan ayat quran atau
hadits, mereka cenderung tawaqquf.
2.
Latar Belakang Kemunculan.
Sesuai dengan namanya, maka ahl al-hadis merupakan kelompok
di masa tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan
hadis ketimbang ra’yu. Kelompok ini merupakan kebalikan dari ahl ra’yu.
Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperoleh
fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Menurut para ulama, munculnya kelompok ini di wilayah Hijaz
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
adanya ketertarikan terhadap metode yang digunakan guru-guru
mereka terutama Abdullah bin Umar yang sangat kuat berpegang pada hadis.
banyaknya hadis yang mereka peroleh,
sebab para sahabat yang hiudp pada zaman nabi banyak yang tinggal di Hijaz
terutama di Mekkah dan Madinah.
gaya
hidup orang Hijaz yang sangat eksklusif dan tidak sedinamis dan seheterogen di
wilayah Iraq.
masalah-masalah
baru yang memerlukan fatwa sangat minim sekali, hal ini di samping karena
penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Iraq.
3. Keistimewaan.
Di antara bentuk-bentuk keistimewaan yang dimiliki kelompok
ahl hadis adalah:
Ø Sangat kuat
berpegang terhadap hadis dan tidak memberikan kriteria yang sangat ketat dalam
penukilan hadis, sebab mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari
penduduk Hijaz adalah siqat.
Ø Tidak suka
mempersoalkan atau mendiskusikan masalah-masalah yang belum muncul karena akan
mendorong penggunaan ra’yu.
Ø Dalam memahami
suatu nash, sangat berpatokan kepada makna zahir nash dan tidak mendiskusikan
lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut.
Ø Tidak
menggunakan ra’yu kecuali pada saat terpaksa.
4. Tokoh-Tokohnya.
Di antara tokoh-tokoh terkemuka dari
kelompok ahl al-hadis adalah para fuqaha yang tujuh, yaitu:
1.
Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2.
al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3.
Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
4.
Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5.
Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6.
Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7.
Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.).
4.
Metode Legislasi Hukum.
C.
Pengaruh kedua aliran dalam penggalian hukum islam
Ketika wewenang dan
kekuasaan tasyri’ berada di tangan generasi tabi’in dan tabi’
tabi’in senior, maka arah dan sasaran penetapan hukum mereka mengikuti
sesuai apa yang pernah dilakukan dan ditempuh oleh guru-guru mereka dari
generasi sahabat, yakni dengan tetap merujuk kepada sumber-sumber tasyri’
dan memperhatikan prinsip-prinsip dalam pnetapan hukum islam. Kemudian pada
periode ini, sudah mulai ada diskursus dan perbedaan pendapat dan pola
pemikiran di antara sebagian ulama. Hal ini mengakibatkan munculnya arah dan
sasaran tasyri’ yang baru. Di Madinah tegak berdiri madrasah hadits,
pemegang dan pemelihara hadits.Dalam penggalian hukum suatu masalah, mereka
hanya merujuk pada al-Quran dan hadits Nabi serta tidak mau melangkah lebih
jauh dari keduanya, mereka cenderung tidak menyukai kajian nalar juga sangat
berhati-hati ketika mengemukakan fatwa suatu permasalahan. Mazhab ini terkait
dengan nash – nash syara’ yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits dan tidak
melakukan ra’yu yang bersandar pada usaha akal semata. Argumentasi
mereka bahwa syari’ah itu dari Allah, oleh sebab itu tidak layak menjadi arena
percaturan hamba – hambanya, pendapat manusia bisa salah dan benar, sedangkan
al-Qur’an dan as-Sunah terlepas dari kesalahan.
Kemudian di wilayah Iraq
muncul madrasah ra’yu, Madzhab ini disebut ahli ra’yu karena
cenderung mereka banyak menggunakan rasio dalam menetapkan hukum. Mereka
memiliki pandangan tersendiri terhadap syari’ah Islam. Mereka mempunyai pandangan bahwa hukum Islam itu merupakan ketentuan-ketentuan
doktrial yang mengacu pada kemaslahatan kehidupan umat manusia. dalam
menetapkan hukum, mereka menggunakan kekuatan akal pikiran, mereka berijtihad
dalam memahami tujuan nash dan sebab-sebab ditentukannya hukum tersebut.
Perbedaan kedua kelompok
tersebut dalam penggalian hukum berpengaruh pada generasi selanjutnya dalam
pembentukan fiqih. Pada satu sisi ahlu hadits tetap menggunakan ra’yu meskipun
hanya dalam kondisi yang sangat terpaksa. Begitu juga ahlu ra’yu sangat
selektif dalam menerima hadits, karena banyak beredar pada waktu itu
hadits-hadits palsu. Imam Malik yang mengikuti tradisi ahlu hadits dalam
menetapkan hukum juga tetap menggunakan ra’yu dalam Muwattha’nya.
Dari pola pemikiran ulama
periode inilah, khususnya teori nalarnya Ibrahim al-Nakha’ie, muncul
metode-metode baru dalam istinbath hukum, seperti qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, ’urf, juga istishab, yang akan memberikan warna
dalam kajian keilmuan islam, khusunya dalam metode pembentukan hukum islam.Wallahu
a’lam bi al-shawab.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ahl al-Hadis dan Ahl Ra’yi adalah dua kecenderung dalam
metode pelegislasian hukum Islam. Hal ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas
dan heteroginitas penduduk yang mendiami tempat tersebut. Ahl Hadis yang
berkembang di Hijaz mempunyai banyak sumber hadis karena sahabat yang mendengar
nabi lebih banyak tinggal di wilayah ini, di samping itu, penduduknya juga
termasuk homogen yang tentu tidak akan melahirkan terlalu banyak persoalan.
Sedangkan Ahl Ra’yi yang berkembang di Iraq lebih sedikit mendapatkan hadis,
baik karena sumbernya atau kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis karena
banyaknya hadis maudhu’. Iraq juga dikenal dengan masyarakat yang heterogen dan
berlatar berbagai perdaban, percampuran perdaban inilah yang melahirkan
berbagai masalah yang membutuhkan pemecahan hukum.
Meski dikatakan sebagai Ahli Ra’yi,
mereka masih menggunakan hadis, perbedaannya dengan Ahl Hadis adalah dalam
mendahulukan ra’yu ketimbang hadis ahad yang oleh Ahl Hadis, hadis ahad
didahulukan ketimbang ra’yu.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar